menjelang travel yang berangkat ke bandung,
gue ngobrol sama pak maryadi.
"kapan rumahnya mas ares jadi?"
"besok katanya mau serah terima surat-suratnya" kata ayah
"wuuiihh, gaya.. " kata gue "ayah dulu pernah kepikiran nggak bisa nyekolahin anak sampe kuliah?"
dan mulailah dia bercerita...
"kuliah? sama sekali nggak pernah kepikiran.
boro-boro mikirin kuliah kalian,
ayah tuh dulu mikirnya cuma mampu nyekolahin kalian sampe SMA,
itu aja ayah sampe nggak jadi kuliah biar uangnya bisa ditabung buat kalian.
ayah tuh dulu mikir kalian sekolah SMA.. bisa jadi nganggur, bisa jadi kerja.. sukur-sukur kerja. jadi SPG atau jadi apa kek.
trus kalo lulusan SMA kan pergaulannya terbatas.. cuma ketemu orang yang itu-itu aja.. nanti nikahnya juga dari pergaulan yang sedikit itu.
trus nanti nikahnya gimana. tinggalnya dimana. apa ngontrak, apa numpang dirumah." ekspresinya pak maryadi santai sekali. seolah tidak menyesal bahwa dia nggak jadi kuliah demi kami,
seolah bahwa berkorban untuk anak sendiri bukanlah sesuatu yang menyusahkan.
"tapi itu nggak penting lagi. sekarang yang penting kalian bertiga bisa kuliah"
dia sayang kami, bahkan ketika dia tidak mengatakannya.
bahkan ketika dia tidak memberikan yang kami minta.
bahkan sekalipun kepentingan kami dinomorduakan setelah kepentingan Rukun Tetangga setempat. (hah, dasar pak maryadeee.. )
berkat disediakan bagi mereka yang mau berusaha, bahkan sekalipun tak pernah punya mimpi.
you are blessed, pak maryadi!
we love you.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 comments:
Posting Komentar